Sabtu, 28 Mei 2011

Suami Istri Jadi Tukang Pijat

TAK ada pekerjaan mulia kalau pekerjaan tidak didasari niat yang kuat dan ketulusan jiwa. "Kami ikhlas dan sudah mantap menekuni pekerjaan ini, meski usia kami tua sekalipun," tutur Ny Eko Hastuti (49), warga RT 2/RW 8 Dukuh Karangbawang, Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara yang kini menekuni profesi tukang pijat dan pengobatan tradisional.
Bersama suaminya, Heru Cokro Sukirno (52), Ny Tuti, begitu dia akrab dipanggil, terus menggeluti profesi itu. Khususnya spesialis urat saraf dan penyakit dalam. Pekerjaan itu mulai dijalani sekitar 1990-an, sedangkan suaminya sekitar 1985. Namun jauh sebelumnya, setelah pasangan tersebut menikah pada 1975, bakat tersebut sudah mereka jalankan.
Namun waktu itu, memijat hanya sebagai sampingan dan dilakukan kalau ada orang yang membutuhkan pertolongan. "Yang pertama kali suka memijat adalah Bapak (suami). Tapi waktu itu kami memijat kalau ada tetangga atau saudara minta tolong saja. Saat itu, suami saya kan masih sebagai sopir sehingga pekerjaan itu hanya sebagai sampingan," ungkap Tuti.
Ibu empat anak ini menuturkan, bakat memijat yang mereka miliki karena bawaan dari keluarga masing-masing. Kedua keluarga tersebut mempuyai garis keturunan sebagai tukang pijat. Kendati saat mereka bertemu dan menyatakan untuk menikah, tidak mendapat restu dari keluarga masing-masing.
Menurutnya, empat anaknya, tiga perempuan (sudah berkeluarga) dan satu laki-laki, juga sebenarnya bisa memijat. Hanya anak nomor tiga Setyaningsih yang tinggal di Jakarta dan Budi (ragil) yang terlihat menonjol. Namun mereka belum menyatakan ingin meneruskan bakat orang tuanya. "Kalau ada pekerjaan yang lebih menjanjikan, akan saya jalani dulu. Kalau memijat, nanti dululah," ujar Budi (22) yang kini menjadi karyawan sebuah percetakan penyablonan di Purwokerto.
Penyakit Dalam
Diceritakan Tuti, suaminya yang juga dikenal sebagai salah satu ahli spritual Banyumas, akhirnya memutuskan untuk mengabdikan hidupnya dalam bidang pengobatan penyakit dalam dan pijat lantaran saat dia menggeluti sebagai kru angkutan, istrinya sering sakit-sakitan. Istrinya mempayai penyakit lemah jantung dan darah tinggi.
"Saya tidak tega kalau meninggalkan dia di rumah sendirian. Saya akhirnya berhenti sebagai sopir. Selama berbulan-bulan saya obati istrinya dengan ramuan obat-obat tradisional dan saya pijat secara rutin. Akhirnya sembuh juga. Terkadang saya bawa ke dokter," kata lelaki pengagum mantan Presiden RI Soekarno ini.
Bagi Tuti, niatan sebagai tukang pijat mulai terdorong kuat saat suaminya sering mengeluh sakit-sakitan, terutama sakit kepala. Dengan tekun dan penuh kasih sayang, dia mengobati dan memijat suami. Akhirnya juga sembuh. "Suami saya memang dikenal sebagai orang yang lebih banyak diam, suka berfikir, dan jarang marah. Karena itu, ketika dia sakit sakit jarang disampaikan kepada saya," akunya.
Sudah tak terhitung berapa pasien yang mereka sembuhkan. Mulai dari anak-anak sampai orang lanjut usia. Mereka berasal dari strata sosial yang beragam. Ada yang dari orang tidak mampu sampai pejabat gedongan.
Namun untuk pasien rutin, umumnya mahasiswa karena rumahnya berada di lingkungan Kampus Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Pasien luar kota juga banyak. Saat datang tidak hanya ingin dipijat atau diobati secara tradisional, namun pasien tertentu juga ingin mendapatkan petuah spiritual dari Sukirno. (Agus Wahyudi-20m)

Sabtu, 05 Maret 2005 Banyumas
sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/05/ban07.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar